Media sosial ramai membicarakan tewasnya Juliana De Souza Pereira Marins (27), pendaki asal Brasil, yang jatuh saat mendaki Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat (NTB). Peristiwa ini memicu perdebatan sengit antara netizen Brasil dan Indonesia, terutama terkait proses penyelamatan Juliana. Kata kunci seperti Rinjani, Tim SAR, Juliana, dan Brasil menjadi trending topik di media sosial X.
Pantauan CNNIndonesia.com pada Rabu (25/6) siang menunjukkan kata kunci terkait insiden ini telah di-tweet puluhan ribu kali, bahkan nama Juliana sendiri mencapai 234 ribu kali. Perdebatan terpusat pada efektivitas penyelamatan dan kesiapan otoritas terkait dalam menangani insiden pendakian.
Seorang netizen Brasil, melalui akun @oan*** di X, mempertanyakan kesiapan otoritas, mengingat biaya pendakian yang dibebankan dan promosi Rinjani sebagai gunung yang cocok untuk pendaki pemula. “Jika mereka mengenakan biaya untuk perjalanan mendaki gunung berapi yang kacau ini, jika mereka mengatakan bahwa gunung ini cocok untuk pendaki pemula, paling tidak yang bisa mereka lakukan adalah bersiap-siap jika terjadi insiden. Tidak ada alasan,” tulisnya pada Selasa (24/6).
Komentar ini dibantah oleh netizen Indonesia, @HiimC***, yang menekankan bahwa kesulitan penyelamatan bukan karena kurangnya persiapan, melainkan karena kondisi alam yang ekstrem. “Apakah menurut Anda para penyelamat tidak mempertaruhkan nyawa mereka? Mereka mendaki Rinjani, tidur di sana, menantang cuaca buruk dan medan yang berbahaya hanya untuk menyelamatkan seseorang. Ini bukan karena kurangnya persiapan, tapi karena alam. Jadi, jika Anda tidak tahu apa-apa, jangan sok tahu,” sanggahnya.
Perdebatan semakin memanas dengan munculnya komentar dari netizen Brasil yang menyarankan untuk menghindari Indonesia. Akun @irissafa**** bahkan menulis, “Jangan mengunjungi Indonesia. Hidup Anda tidak ada artinya bagi mereka.” Akun ini membandingkan kondisi penyelamatan di Brasil dengan Indonesia, menekankan bahwa meskipun Brasil masih memiliki kekurangan, insiden seperti ini tidak akan dibiarkan terjadi.
“Sebagai orang Brasil, banyak yang harus saya katakan. Brasil masih banyak yang harus diperbaiki. Namun hal itu tidak akan pernah terjadi di sini. Tim penyelamat di sini akan melakukan apa saja. Dan jika tidak, penduduknya sendiri yang akan mengatasinya,” tulis akun tersebut.
Di sisi lain, akun @jauha*** menyampaikan belasungkawa, namun juga mengingatkan pentingnya pengalaman pendakian sebelum mendaki Gunung Rinjani. “Pertama-tama, saya turut berduka cita. Tapi saya ingin mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang akan pergi ke Rinjani jika mereka masih pemula. Ini seperti mengatakan Anda pergi ke Everest sebagai pendaki menengah. Anda tidak boleh melakukan itu,” ungkapnya.
Juliana jatuh pada Sabtu (21/6) sekitar pukul 06.30 WITA. Setelah pencarian intensif, tim SAR gabungan menemukannya pada Senin (23/6) pukul 07.05 WITA, sekitar 500 meter dari titik jatuhnya. Proses evakuasi yang dilakukan pada Selasa (24/6) dihentikan karena cuaca buruk dan dilanjutkan keesokan harinya.
Basarnas akhirnya memastikan Juliana meninggal dunia. Kabasarnas Marsekal Madya Mohammad Syafii menjelaskan bahwa tim penyelamat telah mencapai korban pada kedalaman 600 meter dan menyatakan tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan. “Pukul 18.00 WITA, satu orang rescuer dari Basarnas atas nama Khafid Hasyadi berhasil menjangkau korban pada kedalaman 600 meter, selanjutnya dilakukan pemeriksaan korban dan tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan,” kata Syafii.
Insiden ini menyoroti pentingnya persiapan yang matang sebelum mendaki gunung, khususnya Gunung Rinjani yang dikenal memiliki medan yang menantang. Perdebatan di media sosial juga menggarisbawahi perbedaan persepsi dan standar penyelamatan di berbagai negara. Semoga kejadian ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak, baik pendaki maupun otoritas terkait, untuk meningkatkan kesiapan dan keselamatan dalam aktivitas pendakian.
Kejadian ini juga memicu diskusi mengenai standar keselamatan dan prosedur pendakian di Gunung Rinjani. Apakah peraturan dan prosedur yang ada sudah cukup memadai? Apakah perlu ada peningkatan dalam hal sosialisasi, pengawasan, dan pelatihan bagi tim SAR? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.