Indonesia, dengan kekayaan tradisi di setiap daerahnya, memiliki beragam perayaan unik yang berkaitan dengan hari besar keagamaan, termasuk Idul Adha atau musim haji. Momen kedatangan dan kepulangan jamaah haji seringkali dirayakan meriah oleh keluarga dan kerabat.
Berbagai ritual khusus dilakukan sebagai ungkapan syukur dan simbol menyambut kedatangan para jamaah. Mari kita telusuri beberapa tradisi unik tersebut.
Tradisi-tradisi Musim Haji di Berbagai Daerah Indonesia
Berikut beberapa tradisi yang berkembang di Indonesia selama musim haji, yang mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal.
1. Tradisi Gentongan di Cirebon
Di Cirebon, tradisi gentongan menjadi ciri khas musim haji. Keluarga yang anggota keluarganya menunaikan ibadah haji akan meletakkan gentong berisi air minum di halaman rumah.
Air dalam gentong tersebut dapat diambil secara gratis oleh siapa pun yang lewat. Gentong yang umumnya terbuat dari tanah liat dan ditutup anyaman bambu ini melambangkan kedermawanan dan berbagi.
Tradisi ini berakar pada kesulitan yang dihadapi jamaah haji di masa lalu. Perjalanan panjang dan keterbatasan bekal membuat mereka berharap diberi kemudahan, sehingga mereka berbagi air sebagai sedekah.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cirebon, Saptaji, menyatakan tradisi ini sudah berlangsung selama 600 tahun. Awalnya, gentong digunakan sebagai mas kawin dalam pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subang Larang.
2. Ninjau Haji di Jembrana, Bali
Di Kabupaten Jembrana, Bali, terdapat tradisi Ninjau Haji. Keluarga dan kerabat mengantar jamaah haji hingga ke bandara (dulu hingga pelabuhan).
Setelah mengantar, mereka biasanya berwisata di sekitar pelabuhan. Sebelum keberangkatan, keluarga juga meminta doa restu kepada calon jamaah haji dengan melakukan ziarah.
Tradisi ini bermula sejak abad ke-19, saat Raja Jembrana secara resmi melepas jamaah haji yang berangkat menggunakan kapal laut. Pelepasan dilakukan di Tanjung Tangis, setelah berkumpul di Pelabuhan Teluk Bunter.
3. Tepung Tawar di Riau
Di Riau, Sumatera, tradisi Tepung Tawar dilakukan untuk mendoakan keselamatan dan keberkahan bagi jamaah haji yang akan berangkat.
Upacara adat ini merupakan persembahan syukur dan harapan agar terhindar dari bahaya selama perjalanan. Air wangi dicampur dengan beras kunyit dan bunga rampai, lalu ditaburkan.
Tepung tawar dilakukan menggunakan daun perenjis yang dicelupkan ke air dan digunakan untuk menyiramkan air wangi. Berasal dari zaman kerajaan, tradisi ini tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Tradisi ini tak hanya dilakukan saat musim haji, melainkan juga pada acara-acara lain seperti pernikahan, khitanan, dan pindah rumah.
4. Ratiban di Betawi
Masyarakat Betawi memiliki tradisi Ratiban untuk melepas jamaah haji atau umroh. Kata “ratib” berarti mengaturkan atau menguatkan dzikir.
Ratiban diisi dengan pembacaan dzikir seperti tahlil, tasbih, tahmid, istighfar, dan taqdis. Keluarga mampu terkadang melaksanakan ratiban selama 40 hari berturut-turut.
5. Peusijuek di Aceh
Di Aceh, Peusijuek merupakan prosesi penting dalam berbagai acara, termasuk keberangkatan jamaah haji. Tradisi ini dibedakan berdasarkan tujuannya, seperti peusijuek untuk pernikahan atau keberangkatan haji.
Pelaksanaannya melibatkan penaburan beras padi dan air tepung tawar, menyunting nasi ketan di telinga, dan pemberian uang. Peusijuek merupakan ungkapan syukur dan permohonan keselamatan.
Tradisi-tradisi ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya budaya Indonesia. Perayaan musim haji bukan sekadar momen keagamaan, melainkan juga perwujudan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.