Penyesuaian suku bunga kredit di Indonesia biasanya membutuhkan waktu satu hingga dua kuartal untuk berdampak penuh pada sektor riil. Hal ini disampaikan oleh Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank, yang menjelaskan bahwa perbedaan struktur biaya dana antar bank dan persaingan pasar menjadi faktor penyebabnya.
Namun, penurunan suku bunga acuan yang diikuti penurunan suku bunga dasar kredit (SBDK) secara bersamaan berpotensi mempercepat penurunan biaya dana perbankan. Faktor kunci yang menentukan efektivitas transmisi kebijakan moneter ini adalah permintaan kredit dari sektor riil.
Respons Perbankan Terhadap Penurunan Suku Bunga
Menurut Josua, meskipun suku bunga sudah lebih rendah, stagnasi kredit tetap mungkin terjadi jika pelaku usaha masih ragu-ragu akibat ketidakpastian global atau jika pemulihan konsumsi belum optimal.
Efektivitas penurunan suku bunga sangat bergantung pada kepercayaan dan optimisme pelaku usaha. Jika mereka masih menunggu dan melihat situasi, maka penurunan suku bunga tidak akan mendorong pertumbuhan kredit secara signifikan.
Suku Bunga Simpanan di Bawah Inflasi dan Potensi Pergeseran Dana
Saat ini, suku bunga simpanan perbankan berada di bawah tingkat inflasi. Suku bunga dasar kredit (SBDK) bank umum tercatat sebesar 4,25 persen, sedangkan inflasi tahunan Mei 2025 berada di kisaran 2,7 persen (yoy).
Kondisi ini menimbulkan potensi pergeseran dana masyarakat ke instrumen investasi non-penjaminan. Instrumen seperti reksa dana pasar uang, Surat Berharga Negara (SBN) ritel, atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) menawarkan imbal hasil lebih tinggi dan likuiditas yang lebih baik.
Meskipun dana pihak ketiga di perbankan didominasi simpanan likuid, tren pergeseran ini perlu diwaspadai karena bisa menimbulkan tekanan likuiditas jangka menengah. Perbankan perlu meningkatkan efisiensi bunga dana dan daya saing produk simpanan mereka.
Penguatan daya saing produk simpanan perbankan sangat penting. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan layanan dan integrasi digital yang lebih baik.
Alasan Penurunan BI Rate dan Dampaknya
Keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan BI Rate menjadi 5,75 persen mencerminkan pandangan ke depan (forward-looking). Penurunan ini mempertimbangkan potensi pelonggaran moneter global, terutama ekspektasi penurunan suku bunga The Fed di paruh kedua 2025.
Faktor lain yang mendukung penurunan BI Rate adalah meredanya tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Inflasi yang terkendali di bawah 3 persen juga memberikan ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang berfokus pada data masa lalu (backward-looking), menurunkan TBP mengikuti tren penurunan suku bunga simpanan perbankan selama dua bulan terakhir.
Kondisi likuiditas perbankan yang longgar juga menjadi faktor pertimbangan LPS. Penurunan TBP ini konsisten dengan dinamika pasar uang dan kebijakan BI sebelumnya.
Secara keseluruhan, meskipun suku bunga kredit telah diturunkan, dampaknya terhadap pertumbuhan kredit masih sangat bergantung pada kondisi perekonomian global dan domestik, terutama optimisme pelaku usaha. Perbankan juga perlu melakukan inovasi dan peningkatan efisiensi untuk tetap kompetitif dalam menarik dana masyarakat.