Isu pertambangan di Raja Ampat telah menarik perhatian internasional. Tidak hanya menjadi perdebatan di Indonesia, tetapi juga menjadi sorotan peneliti, LSM, dan media internasional, termasuk BBC yang menyebut Raja Ampat sebagai “Laut Amazon” karena keanekaragaman hayati lautnya yang luar biasa.
Namun, keindahan Raja Ampat kini terancam oleh aktivitas pertambangan nikel. Gambar-gambar penambangan yang merusak hutan dan mencemari air telah beredar luas.
Dampak Pertambangan Nikel di Raja Ampat
Global Witness, LSM internasional yang fokus pada pelanggaran lingkungan dan HAM, mengungkapkan peningkatan luas lahan tambang di Raja Ampat sebesar 500 hektar antara tahun 2020 dan 2024. Ini setara dengan sekitar 700 lapangan sepak bola.
Organisasi konservasi seperti Greenpeace khawatir keputusan pemerintah bisa dibatalkan melalui jalur hukum oleh perusahaan tambang. Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh kebutuhan global akan nikel untuk baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat.
Pencabutan Izin Tambang dan Reaksi Internasional
Pada 10 Juni 2024, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) empat dari lima perusahaan tambang di Raja Ampat. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Anugrah Surya Pertama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Namun, IUP PT Gag Nikel, perusahaan milik pemerintah, tidak dicabut. Pemerintah berjanji akan mengawasi ketat operasionalnya agar tidak merusak lingkungan.
Keputusan ini menuai kontroversi karena PT Gag Nikel juga beroperasi di pulau kecil, yang dilarang ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Pulau Gag juga berada di Kawasan Strategis Nasional (KSN) Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat.
Dukungan dari Ahli dan Sorotan Media Internasional
Mark Erdmann, ahli konservasi terumbu karang dan ekologi, menyambut baik pencabutan izin tambang tersebut, meskipun belum menyeluruh. Ia menekankan pentingnya Raja Ampat sebagai pusat keanekaragaman hayati laut global.
Erdmann, yang telah bekerja di Raja Ampat selama lebih dari dua dekade, menyatakan bahwa tekanan dari masyarakat Indonesia menjadi faktor penting yang mendorong pemerintah untuk bertindak.
Kontroversi ini menunjukkan ironi bagaimana kebutuhan nikel untuk teknologi ramah lingkungan justru menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Indonesia sendiri menyumbang lebih dari setengah produksi nikel dunia.
Media internasional seperti The Independent dan Associated Press turut meliput isu ini, menyoroti status Raja Ampat sebagai Taman Geopark Global UNESCO dan luas wilayah kepulauannya yang mencapai hampir 20.000 kilometer persegi.
Agence France-Presse (AFP) juga memberitakan pencabutan izin tambang di Raja Ampat, menekankan konflik antara keindahan alam Raja Ampat dan kebutuhan industri akan nikel.
Kesimpulannya, isu pertambangan di Raja Ampat menyoroti tantangan dalam menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Tekanan internasional dan kesadaran masyarakat Indonesia menjadi faktor penting dalam upaya melindungi keanekaragaman hayati Raja Ampat yang berharga.