Aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai kontroversi. Pemerintah menemukan sejumlah pelanggaran lingkungan yang dilakukan beberapa perusahaan tambang. Menteri hingga anggota DPR turut menyoroti aktivitas ini dan mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh.
Penolakan terhadap penambangan nikel di Raja Ampat mendorong pemerintah untuk melakukan pengawasan. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan berbagai pelanggaran serius terhadap aturan lingkungan dan tata kelola pulau kecil.
Pelanggaran Lingkungan oleh Perusahaan Tambang Nikel
Empat perusahaan tambang menjadi sorotan: PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP). Keempatnya telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun hanya PT GN, PT KSM, dan PT ASP yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
PT ASP, perusahaan PMA asal Tiongkok, beroperasi di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan pengelolaan air limbah yang memadai. KLH/BPLH telah memasang plang peringatan penghentian aktivitas.
PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag (±6.030,53 hektare). Kedua pulau ini termasuk pulau kecil, sehingga aktivitas pertambangan bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
PT MRP beroperasi di Pulau Batang Pele tanpa dokumen lingkungan dan PPKH. Seluruh eksplorasi dihentikan. PT KSM terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan PPKH seluas 5 hektare di Pulau Kawe.
Kekhawatiran Terhadap Situs Sejarah dan Ekosistem
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengkritik penambangan nikel di Raja Ampat. Ia menekankan pentingnya menjaga keindahan alam dan ekosistem Raja Ampat.
Fadli Zon khawatir kegiatan tambang dapat merusak situs bersejarah. Ia mendesak dilakukan diskusi lebih lanjut mengenai hal ini.
Fadli Zon mendukung penghentian sementara kegiatan penambangan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Desakan Evaluasi Izin dan Dampak Lingkungan
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Rahayu Saraswati, meminta evaluasi izin tambang nikel di Raja Ampat. Ia menganggap hal ini sebagai masalah serius mengingat status Raja Ampat sebagai area konservasi dan Taman Nasional.
Rahayu menekankan dampak negatif penambangan terhadap ekosistem dan lingkungan. Ia khawatir kerusakan alam akan terjadi jika penambangan terus berlanjut.
Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Daulay, meminta pemerintah mengecek legalitas IUP nikel di Raja Ampat. Ia menekankan perlunya evaluasi perusahaan tambang dan kepatuhan mereka terhadap aturan.
Saleh juga mendesak pemerintah mengevaluasi dampak penambangan, baik jangka pendek maupun panjang, termasuk dampaknya terhadap masyarakat setempat.
Ancaman Pencabutan Izin dan Tindakan Hukum
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan KLH melakukan pengawasan pada 26-31 Mei 2025. Pengawasan ini untuk penegakan hukum dan perlindungan lingkungan di kawasan pesisir dan pulau kecil.
KLH tengah mengevaluasi Persetujuan Lingkungan PT ASP dan PT GN. Jika terbukti melanggar hukum, izin lingkungan mereka akan dicabut.
Hanif menegaskan penambangan di pulau kecil mengabaikan prinsip keadilan antargenerasi. KLH tidak ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem.
Kasus penambangan nikel di Raja Ampat menyoroti pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Pengawasan ketat dan penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan yang tak tergantikan di kawasan yang memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi ini. Ke depannya, model pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan harus diprioritaskan untuk melindungi warisan alam Raja Ampat bagi generasi mendatang.