Awal Juni 2025, misi Solar Orbiter milik ESA dan NASA berhasil menangkap gambar kutub matahari untuk pertama kalinya. Keberhasilan ini disusul pencapaian baru dari misi Proba-3, sebuah misi Eropa yang diluncurkan dari India pada Desember 2024. Proba-3 berhasil mengamati korona matahari dengan detail yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Proba-3 terdiri dari dua pesawat ruang angkasa yang terbang dengan jarak sekitar 150 meter. Keduanya mampu melakukan manuver presisi tinggi hingga milimeter.
Proba-3 dan Gerhana Matahari Buatan
Kemampuan manuver presisi tinggi ini memungkinkan salah satu pesawat Proba-3 membayangi yang lain, menciptakan gerhana matahari buatan. Hal ini memblokir cahaya matahari langsung, sehingga korona matahari menjadi terlihat dengan jelas.
Tidak ada wahana lain yang sebelumnya mampu mengamati korona sedekat ini dengan permukaan matahari. Keberhasilan ini membuka peluang besar bagi penelitian matahari.
Misteri Korona Matahari
Korona matahari, lapisan terluar atmosfer matahari, telah lama menjadi misteri bagi para ilmuwan. Susunannya terdiri dari tiga bagian utama: korona atas, korona bawah, dan celah di antara keduanya.
Celah di antara korona atas dan bawah biasanya hanya terlihat dari Bumi saat terjadi gerhana matahari total. Pengamatan langsung melalui Proba-3 memberikan data yang lebih detail.
Salah satu misteri terbesar adalah suhu korona yang jauh lebih tinggi daripada permukaan matahari. Suhu korona mencapai lebih dari 1,1 juta derajat Celcius, sementara permukaan matahari hanya sekitar 5.500 derajat Celcius.
Keanehan ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa inti matahari memiliki suhu sekitar 15 juta derajat Celcius. Para astronom masih belum menemukan penjelasan yang memuaskan untuk fenomena ini.
Teknologi Presisi Tinggi Proba-3
Proba-3 menggunakan dua pesawat ruang angkasa, Occulter dan Coronagraph. Occulter berfungsi sebagai pemblokir cahaya matahari langsung.
Dengan diameter hanya 1,4 meter, Occulter mampu menghasilkan bayangan selebar delapan sentimeter yang cukup untuk menciptakan gerhana matahari buatan. Coronagraph kemudian menangkap gambar korona.
Kedua pesawat ini terbang secara otonom, menggunakan penjejak bintang dan GPS untuk navigasi. Mereka secara rutin menciptakan gerhana matahari buatan setiap 19 jam 36 menit.
Direktur Teknologi ESA, Dietmar Pilz, menyatakan kebanggaannya atas keberhasilan teknologi Proba-3. Gambar-gambar yang dihasilkan mengkonfirmasi presisi tinggi teknologi ini.
Kemampuan menjaga formasi presisi selama enam jam merupakan prestasi luar biasa dalam teknologi antariksa. Hal ini membuktikan kemajuan signifikan dalam teknologi observasi matahari.
Pengamatan Proba-3 melengkapi data yang dikumpulkan oleh Solar Orbiter dan Parker Solar Probe. Solar Orbiter memberikan gambar kutub matahari, sementara Parker Solar Probe telah melewati korona matahari.
Data dari ketiga misi ini akan membantu para ilmuwan memahami matahari dengan lebih baik. Pemahaman yang lebih baik tentang matahari penting untuk memprediksi dan mengurangi dampak cuaca antariksa.
Cuaca antariksa, seperti lontaran massa korona dan badai matahari, dapat mengganggu satelit komunikasi dan jaringan listrik di Bumi. Proba-3 membantu meningkatkan kemampuan prediksi dan mitigasi dampak cuaca antariksa.
Kesimpulannya, misi Proba-3 menandai tonggak penting dalam pengamatan matahari. Gabungan data dari Proba-3, Solar Orbiter, dan Parker Solar Probe menjanjikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bintang kita, dan dampaknya terhadap Bumi.