Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengirimkan surat kepada MPR dan DPR RI pada Senin, 2 Juni 2025. Surat tersebut berisi permintaan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Sekretaris Forum Purnawirawan Prajurit TNI, Bimo Satrio, membenarkan pengiriman surat tersebut. Ia menyatakan surat itu telah disetujui oleh Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.
Tuntutan Pemakzulan Gibran
Meskipun forum purnawirawan memiliki delapan poin sikap, fokus utama surat tersebut adalah tuntutan pemakzulan Gibran. Poin kedelapan dalam pernyataan sikap menjadi dasar permintaan tersebut.
Poin tersebut berbunyi: “Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.”
Surat tersebut ditandatangani oleh sejumlah purnawirawan tinggi TNI, termasuk Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, dan Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.
Tanggapan DPR dan MPR
Sekjen DPR RI, Indra Iskandar, menyatakan belum menerima surat tersebut secara resmi melalui jalur persuratan Sekretariat Jenderal DPR. Ia berjanji akan melakukan pengecekan lebih lanjut terkait kebenaran stempel pada dokumen yang beredar.
Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, sebelumnya telah menanggapi usulan pemakzulan Gibran. Ia menegaskan bahwa proses Pilpres 2024 telah berlangsung sesuai prosedur konstitusional.
Muzani menekankan bahwa KPU telah menetapkan Prabowo Subianto-Gibran sebagai pemenang dan keputusan tersebut telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) setelah adanya gugatan.
Dengan demikian, menurut Muzani, Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden merupakan pemimpin yang sah secara konstitusional.
Analisis Situasi Politik
Permintaan pemakzulan Gibran dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI menimbulkan pertanyaan tentang dinamika politik terkini. Langkah ini dinilai sebagai tantangan terhadap legitimasi pemerintahan yang telah terbentuk.
Perlu dikaji lebih lanjut apakah terdapat dasar hukum yang kuat untuk mendukung tuntutan pemakzulan tersebut. Proses hukum dan konstitusional akan menjadi penentu kelanjutan isu ini.
Kejelasan prosedur dan mekanisme pemakzulan dalam konstitusi Indonesia juga perlu ditelaah. Langkah selanjutnya akan bergantung pada respon MPR dan DPR terhadap surat tersebut.
Situasi ini menunjukkan pentingnya menjaga stabilitas politik dan hukum di Indonesia. Proses demokrasi yang transparan dan akuntabel menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Ke depan, perlu adanya komunikasi yang lebih intensif antar lembaga negara untuk mencegah potensi konflik dan menjaga keutuhan NKRI.