Direktur Eksekutif Center for Indonesian Development Policy (CIDP), Cusdiawan, melontarkan kritik tajam terhadap rencana pemerintah menggelar retret bagi para Sekretaris Daerah (Sekda) di Akademi Militer (Akmil) Magelang. Rencana ini dinilai paradoksal mengingat pemerintahan Prabowo Subianto kerap menekankan efisiensi anggaran.
Cusdiawan memandang rencana retret tersebut sebagai seremonial yang tidak perlu. Ia berpendapat bahwa retret kepala daerah saja sudah cukup, bahkan perlu dievaluasi secara kritis untuk melihat efektivitasnya terhadap kinerja pemerintahan daerah. Pertanyaan kunci yang diajukan adalah: seberapa besar kontribusi retret kepala daerah sebelumnya terhadap peningkatan kinerja pemerintahan, khususnya dalam konteks desentralisasi?
Ia mempertanyakan efektivitas anggaran yang dikeluarkan untuk kegiatan ini. “Dalam pelaksanaan retret kepala daerah sebelumnya misalnya, sejauh mana *output* yang dihasilkan mampu mendorong kinerja pemerintahan daerah terutama dalam kaitannya dengan desentralisasi,” ujar Cusdiawan.
Pemilihan lokasi di Akmil juga menjadi sorotan Cusdiawan. Ia mempertanyakan apakah pemilihan lokasi tersebut, dan simbolisme militer yang melekat padanya, merupakan pesan tersirat dari pemerintah. Apakah ini mengindikasikan penguatan militerisasi di ruang sipil, termasuk dalam pemerintahan dan birokrasi?
Lebih lanjut, Cusdiawan mempertanyakan apakah ini menandakan kecenderungan gaya kepemimpinan yang akan semakin militeristik. Ia menghubungkan hal ini dengan fenomena lain seperti Undang-Undang TNI yang dinilai perlu ditinjau kembali. Menurutnya, demokrasi membutuhkan pemisahan yang jelas antara sipil dan militer, serta perbedaan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan konteks masing-masing.
“Apakah bagian dari ‘pesan’ yang coba dimainkan oleh elite pemerintahan hari ini bahwa militerisasi di ruang sipil akan semakin menguat termasuk dalam pemerintahan maupun birokrasi? Dan kecenderungan watak kepemimpinan yang akan berlangsung bercorak militeristik?” tegas Cusdiawan.
Cusdiawan mengingatkan akan pentingnya menjaga batas antara sipil dan militer dalam konteks demokrasi. Ia khawatir jika kecenderungan militerisasi di ruang sipil terus berlanjut, hal ini akan membahayakan demokrasi. Oleh karena itu, menurutnya, isu retret Sekda ini bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi juga menyangkut keberlangsungan demokrasi Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebelumnya telah mengumumkan rencana retret bagi para Sekda. Ia menyatakan bahwa Presiden telah memberikan arahan untuk menggelar retret bagi Sekda provinsi dan kabupaten/kota di Magelang. Tito menyebut para Sekda merupakan ASN atau birokrat paling senior.
“Nanti akan ada retret untuk para sekda. Bapak Presiden sudah memberikan arahan pada saya retret untuk sekda provinsi dan kabupaten/kota di Magelang dan para sekda ini ASN atau birokrat yang paling senior,” kata Tito.
Perlu diingat bahwa pemerintah juga sedang menyelenggarakan retret kepala daerah gelombang kedua di IPDN, Jawa Barat. Dengan adanya kritik dari berbagai pihak, perlu evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas dan esensi dari kegiatan retret ini, serta dampaknya terhadap efisiensi anggaran dan keberlangsungan demokrasi.
Kesimpulannya, rencana retret Sekda di Akmil menimbulkan kontroversi yang luas, memicu perdebatan bukan hanya tentang efisiensi anggaran, tetapi juga implikasi politik dan implikasi terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran negara sangat penting untuk dijaga.