Sidang kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku dan perkara perintangan penyidikan yang menjerat terdakwa Hasto Kristiyanto menghadirkan perdebatan menarik seputar penerapan Pasal 21 UU Tipikor. Mahrus Ali, ahli hukum pidana dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, memberikan kesaksiannya dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (20/6/2025).
Pertanyaan kunci yang diangkat dalam persidangan adalah mengenai relevansi penggunaan pasal perintangan penyidikan dalam konteks kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy, mempertanyakan hal ini dengan mencontohkan beberapa kasus serupa, termasuk kasus Frederich Yunadi dalam perkara Setya Novanto.
Perintangan di Tingkat Penyidikan: Sebuah Pertanyaan Logika
Mahrus Ali menjelaskan bahwa Pasal 21 UU Tipikor secara spesifik mengatur upaya perintangan di tingkat penyidikan. Penerapan pasal tersebut dalam tahap penyelidikan atau bahkan setelah putusan inkrah, menurutnya, tidak masuk akal.
Ia menekankan bahwa jika terjadi perintangan yang signifikan, maka proses hukum tidak akan dapat berjalan sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, penggunaan Pasal 21 pada kasus yang telah inkrah menjadi tidak logis.
Pasal 21 UU Tipikor sendiri berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.”
Dengan demikian, jika penyidikan telah selesai dan menghasilkan putusan inkrah, tidak ada lagi yang dicegah, dirintangi, atau digagalkan.
Batasan Hukum yang Jelas dan Tahap Pro Justicia
Mahrus Ali juga menyoroti kejelasan batasan hukum dalam UU Tipikor. Undang-undang tersebut secara tegas membedakan antara tahap penyidikan dan penyelidikan.
Ia menambahkan bahwa tindakan mencegah sesuatu pada tahap penyelidikan, dengan tujuan mencegah penyidikan, tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
Penyelidikan, menurutnya, belum memasuki tahap pro justitia. Pada tahap ini, aparat penegak hukum masih berupaya mencari bukti adanya dugaan tindak pidana.
Karena pada tahap penyelidikan bukti-bukti belum cukup untuk menjustifikasi penerapan Pasal 21, penerapan pasal tersebut menjadi tidak tepat.
Analisis Kasus Frederich Yunadi dan Implikasinya
Ronny Talapessy, kuasa hukum Hasto, menyinggung putusan Mahkamah Agung nomor 3315 Pidsus 2018 terkait Frederich Yunadi. Frederich terbukti menghalangi penyidikan kasus Setya Novanto.
Kasus ini menjadi bahan pertimbangan dalam memahami aplikasi Pasal 21. Namun, Mahrus Ali tetap berpendapat bahwa aplikasi pasal tersebut pada kasus yang telah inkrah menunjukkan adanya ketidaksesuaian hukum.
Perdebatan ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang akurat dan interpretasi yang tepat terhadap Pasal 21 UU Tipikor agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan hukum.
Kesimpulannya, kesaksian ahli hukum pidana ini memberikan pandangan kritis mengenai penerapan Pasal 21 UU Tipikor, khususnya dalam konteks kasus yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini menunjukkan kompleksitas interpretasi hukum dan pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.