Tragedi meninggalnya Priya Nailuredha Thoriq (16), siswa kelas 10 SMAN 6 Garut, yang diduga akibat bunuh diri, telah mengguncang Jawa Barat. Kejadian ini memicu reaksi keras dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang langsung mengambil tindakan tegas. Kasus ini pun menjadi sorotan publik, terutama terkait dugaan adanya kelalaian pihak sekolah dan kemungkinan perundungan yang dialami korban.
Kematian Priya menimbulkan pertanyaan besar mengenai lingkungan sekolah dan bagaimana sistem pendidikan dapat mencegah tragedi serupa di masa mendatang. Investigasi menyeluruh perlu dilakukan untuk memastikan keadilan bagi Priya dan mencegah kejadian serupa terjadi pada siswa lainnya.
Pemberhentian Sementara Kepala Sekolah SMAN 6 Garut
Gubernur Dedi Mulyadi langsung mengambil tindakan tegas atas meninggalnya Priya. Beliau memberhentikan sementara Kepala Sekolah SMAN 6 Garut, Dadang Mulyadi, pada Kamis, 17 Juli 2025.
Keputusan ini diambil setelah pertemuan dengan pihak sekolah dan keluarga korban. Pemberhentian sementara ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi investigasi yang menyeluruh dan objektif.
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jawa Barat ditugaskan untuk melakukan investigasi mendalam. Penyelidikan akan mencakup kemungkinan kelalaian dari berbagai pihak di sekolah, termasuk kepala sekolah, wali kelas, guru BK, dan guru mata pelajaran.
Gubernur menekankan pentingnya transparansi dalam proses pemeriksaan. Semua pihak yang terlibat akan dimintai keterangan. Tujuannya adalah untuk memastikan keadilan dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Kronologi Kejadian Menurut Keluarga Korban
Keluarga korban mengungkapkan serangkaian peristiwa yang dialami Priya sebelum meninggal. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan adanya kemungkinan tekanan mental yang signifikan yang mungkin berkontribusi pada tragedi tersebut.
Priya dituduh melaporkan teman sekelasnya yang menggunakan vape, padahal tuduhan itu tidak benar. Akibatnya, ia nyaris dikeroyok dan terpaksa bersembunyi di ruang BK.
Sekolah justru menyalahkan Priya atas insiden tersebut, walaupun ia hanya berusaha melindungi diri. Janji sekolah untuk menyelesaikan masalah di depan kelas pun tidak ditepati, malah memperkeruh situasi.
Priya sering dipanggil ke ruang BK karena dianggap tidak mengerjakan tugas dan bersikap temperamental. Tekanan ini semakin bertambah ketika ia dinyatakan tidak naik kelas.
Tidak naik kelas merupakan pukulan berat bagi Priya. Satu-satunya pilihan untuk melanjutkan pendidikan adalah pindah sekolah. Tekanan mental akibat peristiwa ini diduga menjadi pemicu tindakan tragisnya.
Dugaan Keterlibatan Guru Fisika dan Tanggapan Pihak Sekolah
Nama Yulia Wulandari, diduga guru fisika di SMAN 6 Garut, juga menjadi sorotan. Warganet menuding keterlibatannya dalam masalah yang dialami Priya.
Namun, baik Gubernur Dedi Mulyadi maupun keluarga korban belum memberikan konfirmasi resmi terkait keterlibatan guru tersebut. Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi peran Yulia Wulandari dalam kasus ini.
Kepala Sekolah SMAN 6 Garut, Dadang Mulyadi, menyatakan bahwa kematian Priya tidak terkait dengan perundungan. Beliau menekankan bahwa Priya tidak naik kelas karena tidak menyelesaikan tugas dari beberapa mata pelajaran.
Pernyataan ini masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut mengingat kesaksian keluarga yang menunjukkan adanya tekanan mental yang dialami Priya jauh di luar masalah akademik semata. Investigasi yang menyeluruh akan mengungkap kebenaran di balik berbagai pernyataan yang ada.
Kesimpulannya, kasus meninggalnya Priya Nailuredha Thoriq menjadi pelajaran penting bagi sistem pendidikan di Indonesia. Investigasi yang transparan dan menyeluruh sangat dibutuhkan untuk mengungkap kebenaran, memberikan keadilan bagi korban, dan mencegah tragedi serupa di masa mendatang. Perhatian serius terhadap kesehatan mental siswa dan pencegahan perundungan di lingkungan sekolah merupakan hal yang krusial. Semoga kasus ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pendidikan agar lebih humanis dan melindungi siswa dari segala bentuk tekanan.