Sidang kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Harun Masiku dan perintangan penyidikan, dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, menghadirkan ahli bahasa dari Universitas Indonesia (UI), Frans Asisi Datang. Dalam kesaksiannya, Frans menekankan kompleksitas komunikasi politik dan kaitannya dengan kasus korupsi, yang seringkali penuh dengan ambiguitas dan memerlukan analisis mendalam.
Frans menjelaskan bagaimana penyusunan kalimat dalam komunikasi, khususnya pesan WhatsApp, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti latar belakang, ilmu pengetahuan, wawasan, jabatan, dan status sosial. Hal ini membuat interpretasi pesan tersebut menjadi lebih rumit.
Bahasa Politik dan Teka-Teki dalam Kasus Korupsi
Menurut Frans, kalimat-kalimat dalam konteks politik atau kasus korupsi seringkali penuh dengan teka-teki dan tidak lugas. Ia mencontohkan kasus korupsi yang melibatkan mantan Sekjen Golkar, Idrus Marham, sebagai ilustrasi.
Pengalamannya menganalisis teks-teks dalam kasus korupsi menunjukkan perlunya penyelidikan lebih lanjut untuk memahami arti sebenarnya dari pesan-pesan tersebut. Tidak dapat dilakukan interpretasi sederhana.
Tingkat Jabatan dan Kerumitan Komunikasi
Jaksa penuntut umum juga mempertanyakan bagaimana perbedaan level jabatan mempengaruhi kerumitan komunikasi, khususnya dalam pesan WhatsApp antara atasan dan bawahan.
Frans menjelaskan bahwa semakin tinggi jabatan seseorang, semakin rumit cara mereka berkomunikasi. Analisis yang mendalam sangat diperlukan untuk memahami maksud sebenarnya.
Sebagai contoh, frasa “akan diamankan” yang diucapkan seorang menteri bisa memiliki berbagai makna, tidak selalu berarti secara harfiah. Maknanya bisa bergantung pada konteks dan perlu interpretasi politik.
Pemahaman Konteks dalam Komunikasi
Jaksa selanjutnya menanyakan apakah dalam komunikasi, kedua belah pihak selalu memahami konteks yang sama.
Frans menegaskan bahwa dalam komunikasi, terutama antara individu yang sudah mengenal satu sama lain atau berada dalam satu kelompok, konteks pasti sudah dipahami bersama.
Jika ada salah satu pihak yang tidak memahami konteks, biasanya akan ada klarifikasi atau pertanyaan untuk memastikan pemahaman bersama. Ketidakpahaman konteks ditunjukkan oleh adanya pertanyaan seperti “maksudnya apa?”, “kaitannya apa?”, dan sebagainya.
Sebaliknya, respon seperti “setuju”, “mantap”, atau sejenisnya menandakan bahwa kedua belah pihak memahami konteks yang sama.
Kasus Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku
Hasto Kristiyanto, terdakwa dalam kasus ini, dituduh menghalangi KPK menangkap Harun Masiku, buron kasus dugaan suap sejak 2020.
Ia diduga memerintahkan Harun Masiku untuk menyembunyikan ponselnya dan bersiaga di kantor DPP PDIP untuk menghindari penangkapan. Hasto juga disebut memerintahkan anak buahnya untuk menenggelamkan ponselnya sebelum diperiksa KPK.
Selain itu, Hasto didakwa menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan sebesar Rp 600 juta untuk mengurus PAW Harun Masiku sebagai anggota DPR. Ia didakwa melakukan hal ini bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri. Donny kini menjadi tersangka, Saeful Bahri telah divonis bersalah, sedangkan Harun Masiku masih buron.
Kesimpulannya, kesaksian ahli bahasa dalam sidang ini menyoroti pentingnya analisis mendalam terhadap komunikasi, khususnya dalam konteks politik dan kasus korupsi. Ambiguitas bahasa seringkali digunakan untuk menyembunyikan maksud sebenarnya, sehingga diperlukan keahlian khusus untuk mengungkap kebenaran di balik pesan-pesan tersebut. Kasus Hasto Kristiyanto menjadi contoh nyata betapa pentingnya memahami nuansa dan konteks dalam setiap komunikasi, terutama yang berkaitan dengan kasus hukum.