Tragedi jatuhnya pendaki asal Brasil, Juliana De Souza Pereira Marins (27), di Gunung Rinjani menyisakan duka mendalam. Kematian Juliana semakin diperparah oleh kesulitan evakuasi jenazahnya dari lokasi kejadian yang terjal dan berada di ketinggian ekstrem.
Pakar penerbangan Gerry Soejatman menjelaskan beberapa kendala utama dalam proses evakuasi. Pertama, lokasi jatuhnya korban di ketinggian sekitar 9.400 kaki (sekitar 2.865 meter) membuat operasi helikopter sangat menantang. Ketinggian tersebut mengurangi performa helikopter dan margin keamanan menjadi sangat tipis.
“Mau evakuasi dengan helikopter tidak gampang di ketinggian segitu dan di lereng. Performance helikopternya belum tentu sanggup, kalau sanggup, spare performance marginnya juga sudah tipis,” ungkap Gerry kepada CNNIndonesia.com.
Bahkan jika Juliana masih hidup, memaksakan evakuasi helikopter justru berisiko membahayakannya. Lereng curam dengan permukaan pasir dan kerikil yang tidak stabil, ditambah jurang sedalam 200 meter di bawah lokasi jatuhnya, membuat manuver helikopter sangat berisiko. Guncangan rotor helikopter bisa saja menyebabkan korban tergeser dan jatuh ke jurang.
“Kalau akibat angin/imbasan rotor helikopternya posisi korban bergeser (kondisi pasir dan kerikil di lereng curam itu tidak stabil), itu di bawah lokasi korban itu jurang vertical drop sekitar 200 meter,” jelasnya.
Gerry menambahkan, “Masa sudah jauh-jauh mencapai korban pakai helikopter, ngos-ngosan, terus korban akhirnya meninggal karena alasan konyol ketiup kibasan rotor helikopter lalu terlempar, ke jurang, jatuh 200 meter-an lalu meninggal karena itu,”
Faktor Cuaca sebagai Hambatan Utama
Faktor cuaca juga menjadi kendala signifikan. Operasi penyelamatan dengan helikopter sangat bergantung pada kondisi visual yang baik. Kabut tebal akan sangat menghambat proses pencarian dan evakuasi, bahkan meningkatkan risiko kecelakaan.
“Cuaca buruk ya enggak terbang. Untuk rescue, helinya terbang secara visual, jadi butuh cuaca yang mendukung kondisi cuaca, alias tidak bisa masuk kabut/awan. Masuk kabut/awan selagi melakukan rescue akan mengakibatkan kehilangan orientasi visual, dan berisiko heli bergeser menabrak tebing,” tegas Gerry.
Ia menekankan prinsip utama misi penyelamatan: “Rescue mission itu peraturan utamanya satu, jangan sampai yang mau me-rescue harus di-rescue,”
Kronologi Kejadian dan Evakuasi
Juliana jatuh saat mendaki Gunung Rinjani pada Sabtu (21/6) pukul 06.30 WITA. Tim SAR gabungan menemukannya pada Senin (23/6) pukul 07.05 WITA, sekitar 500 meter dari titik jatuhnya awal. Medan yang berupa pasir dan batu menyulitkan proses evakuasi.
Pada Selasa (24/6), tim berhasil menjangkau korban di kedalaman 600 meter. Namun, evakuasi dihentikan karena cuaca buruk dan dilanjutkan pada Rabu (25/6). Rencananya, evakuasi dilakukan dengan metode lifting, kemudian dilanjutkan dengan penandu sampai ke Posko Sembalun, dan akhirnya dievakuasi ke RS Bhayangkara Polda NTB menggunakan helikopter.
Kesimpulan
Kesulitan evakuasi Juliana di Gunung Rinjani menunjukkan betapa kompleks dan menantang operasi penyelamatan di medan pegunungan yang ekstrem. Kombinasi ketinggian, medan yang berbahaya, dan kondisi cuaca yang tidak menentu menjadi faktor utama yang menghambat proses evakuasi. Kasus ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesiapan yang matang dalam kegiatan pendakian gunung.
Peristiwa ini juga menjadi pembelajaran penting tentang pentingnya persiapan yang matang sebelum melakukan pendakian, termasuk mempertimbangkan risiko dan memiliki rencana evakuasi yang terencana dengan baik. Keselamatan pendaki harus selalu diprioritaskan.