Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana merevisi sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan menerapkan JKN Kelas Rawat Standar (KRIS) atau yang dikenal sebagai “JKN Satu Kelas”. Awalnya dijadwalkan mulai Juli 2025, namun pelaksanaannya diundur hingga akhir Desember 2025 karena banyak rumah sakit yang belum siap. Kebijakan ini menuai kontroversi dan menimbulkan pertanyaan mendalam terkait dampaknya bagi berbagai pihak.
JKN KRIS bertujuan menyederhanakan kelas perawatan di BPJS Kesehatan, menghapus kelas 1, 2, dan 3, dan menggantinya dengan kelas standar. Kemenkes beralasan kebijakan ini didasarkan pada rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Perpres No. 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan, dan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun, beberapa poin krusial perlu dipertanyakan lebih lanjut.
JKN KRIS: Regulasi yang Ambigu dan Interpretasi Sepihak?
Kemenkes dan DJSN mengklaim JKN KRIS sesuai regulasi. Namun, UU SJSN hanya menyebutkan “pelayanan kelas standar” tanpa menjelaskan detailnya atau mewajibkan penghapusan kelas pelayanan.
Regulasi tersebut lebih menekankan pada standardisasi pelayanan, bukan penghapusan kelas perawatan. Oleh karena itu, JKN KRIS terkesan sebagai interpretasi sepihak dari Kemenkes dan DJSN, jauh dari semangat standardisasi pelayanan kesehatan yang seharusnya menjadi fokus utama.
Dampak Empiris dan Aspirasi Peserta JKN
Implementasi JKN KRIS juga dipertanyakan dari sisi empiris. Masalah infrastruktur rumah sakit bukan merupakan keluhan utama peserta JKN, berdasarkan data pengaduan di BPJS Kesehatan.
Artinya, JKN KRIS bukanlah aspirasi utama peserta JKN. Justru, kebijakan ini diduga lebih menguntungkan sektor asuransi kesehatan swasta, yang belakangan mengalami penurunan jumlah peserta sejak diterapkannya JKN.
Potensi Kerugian dan Konsekuensi JKN KRIS
Jika JKN KRIS tetap diterapkan, dampak negatifnya akan meluas ke berbagai pihak. Peserta JKN, fasilitas kesehatan (faskes), dan keuangan negara berpotensi mengalami kerugian.
- Peserta JKN Kelas 3 akan mengalami kenaikan iuran.
- Peserta JKN Kelas 1 akan mendapatkan pelayanan yang lebih rendah (ruangan standar dengan kapasitas lebih banyak pasien), namun tetap membayar iuran kelas 1. Hal ini dapat mendorong mereka beralih ke layanan swasta.
- Rumah sakit akan menghadapi penurunan utilisasi tempat tidur dan harus berinvestasi besar untuk revitalisasi infrastruktur.
- Keuangan negara terancam karena potensi lonjakan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan subsidi tambahan untuk rumah sakit.
Studi di Jakarta Pusat menunjukkan penurunan utilisasi tempat tidur hingga 30 persen, dengan biaya revitalisasi infrastruktur mencapai Rp 114 miliar. Pengalaman RSUD Kota Tangerang yang menerapkan skema satu kelas menunjukkan pendapatan hanya 38 persen, sisanya menjadi beban APBN.
Standardisasi pelayanan memang dibutuhkan, khususnya untuk kelas 3. Namun, bukan dengan cara menghapus kelas layanan dan menciptakan “kelas standar” yang berpotensi merugikan banyak pihak.
Fokus pemerintah seharusnya pada peningkatan kualitas pelayanan kelas 3, bukan merombak seluruh sistem kelas yang telah ada. Jika tujuannya adalah menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan, strategi yang lebih efektif adalah intervensi untuk gaya hidup sehat dan pengendalian penyakit katastropik yang selama ini menguras dana BPJS Kesehatan, seperti stroke, kanker, jantung koroner, dan diabetes melitus. Hal ini jauh lebih efektif daripada kebijakan kontraproduktif seperti JKN KRIS. Upaya pencegahan penyakit jauh lebih bernilai daripada pengobatan.