Politisi dan influencer menjadi sumber utama penyebaran hoaks di dunia digital, menurut temuan terbaru dari Reuters Institute. Laporan *Digital News Report 2025* mengungkapkan fakta mengejutkan tentang peran mereka dalam menyebarkan informasi keliru di media sosial, sebuah fenomena yang terus mengancam kredibilitas informasi dan kepercayaan publik. Studi ini melibatkan survei terhadap puluhan ribu responden di berbagai negara, memberikan gambaran komprehensif tentang tantangan disinformasi global.
Politisi dan Influencer: Dua Pilar Penyebaran Hoaks
Survei Reuters Institute yang melibatkan 97.000 responden dari 48 negara menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Sebanyak 47 persen responden secara global menyebutkan politisi atau partai politik sebagai sumber utama penyebaran hoaks.
Angka yang sama, 47 persen, juga menunjuk pada influencer sebagai sumber utama penyebaran informasi keliru. Ini menunjukkan peran signifikan yang dimainkan oleh tokoh-tokoh publik dalam menyebarkan misinformasi dan disinformasi.
Pemerintah, politisi, atau partai politik dari negara lain menempati urutan ketiga dengan persentase 39 persen. Temuan ini menekankan bahwa penyebaran hoaks bersifat lintas batas dan tidak terbatas pada satu negara saja.
Ancaman Lain di Jagat Digital: Aktivis, Media, dan Selebriti
Selain politisi dan influencer, kelompok lain juga berkontribusi pada penyebaran hoaks, meskipun persentasenya lebih rendah.
Aktivis atau kelompok aktivis dianggap sebagai sumber misinformasi dan disinformasi oleh 37 persen responden. Media massa atau jurnalis juga ikut teridentifikasi, dengan 32 persen responden menyebutnya sebagai sumber penyebaran hoaks.
Selebriti, dengan daya jangkau yang luas, juga berperan dalam penyebaran informasi keliru, dengan 29 persen responden yang menunjuk mereka sebagai sumber. Masyarakat umum sendiri juga berkontribusi, meski dengan persentase yang lebih rendah, yaitu 23 persen.
Kepercayaan Publik dan Persepsi Media: Faktor Penentu Persebaran Hoaks
Tingkat kepercayaan publik terhadap jurnalisme ternyata berpengaruh besar terhadap persepsi tentang sumber penyebaran hoaks.
Di negara-negara dengan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap jurnalisme, media justru seringkali dianggap sebagai sumber sebaran hoaks.
Di Amerika Serikat misalnya, masyarakat yang terpolarisasi cenderung melihat berita sebagai agenda liberal atau kiri, dan menganggap informasi di media sengaja dipelintir, bahkan sebagai ancaman.
Situasi serupa juga terjadi di banyak negara di Afrika, Amerika Latin, dan beberapa negara Asia, khususnya terkait peran influencer. Di Nigeria dan Kenya misalnya, influencer terkemuka sering dipekerjakan oleh partai politik atau kandidat untuk menyebarkan narasi palsu di media sosial. Hal ini memperlihatkan betapa kompleksnya tantangan dalam memerangi penyebaran informasi keliru di era digital. Pentingnya literasi digital dan peningkatan kepercayaan publik terhadap media menjadi kunci dalam menghadapi masalah ini. Upaya kolaboratif antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Hanya dengan demikian, kita dapat meminimalisir dampak buruk dari penyebaran hoaks dan memastikan akses masyarakat terhadap informasi yang akurat dan terpercaya.