Praktik *booking* lahan kemping di gunung belakangan ini menjadi sorotan tajam di kalangan pendaki. Banyak kritikan yang dilontarkan, menyebut praktik ini merusak semangat kebersamaan dan nilai-nilai mendaki di alam bebas. Perdebatan ini mencuat setelah unggahan seorang pendaki di Instagram @luluvitaaaasa_, yang diunggah ulang akun TikTok @anakpakdo pada 1 Juni 2025. Video tersebut memperlihatkan kekecewaan pendaki karena diusir dari Plawangan Sembalun, Gunung Rinjani, karena lahan tersebut telah di-*booking*.
Pihak pengelola wisata belum memberikan pernyataan resmi terkait hal ini. Liputan6.com telah berupaya menghubungi pengunggah video asli, namun ia menolak untuk memberikan keterangan lebih lanjut. Namun, polemik ini telah memicu perbincangan luas dan beragam reaksi dari berbagai pihak, termasuk kalangan selebriti.
Pentingnya Komunikasi dan Tanggung Jawab Pihak Operator
Musisi Fiersa Besari turut menyoroti isu *booking* lahan kemping ini. Melalui akun Instagram pribadinya @fiersabesari pada 3 Juni 2025, Fiersa menyatakan bahwa praktik tersebut memang telah lama dilakukan oleh beberapa *tour operator*.
Ia menjelaskan bahwa banyak *tour operator* yang mengirimkan porter lebih dulu untuk mendirikan tenda bagi peserta *open trip*. Namun, menurutnya, masalah muncul ketika jumlah peserta *open trip* terlalu banyak sehingga mendominasi dan menguasai lahan kemping.
Fiersa menekankan pentingnya komunikasi dan tanggung jawab *tour operator*. Ia mempertanyakan apakah masalah ini disebabkan oleh miskomunikasi atau sistem yang telah dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi. Menurutnya, tindakan mengusir pendaki yang telah mendirikan tenda karena lahan telah di-*booking* merupakan tindakan yang salah.
Tur Operator Harus Bersikap
Fiersa menyarankan agar *tour operator* yang terlibat dalam kontroversi ini segera mengeluarkan pernyataan sikap. Ia menekankan pentingnya perbaikan komunikasi dan penyelesaian masalah secara bertanggung jawab.
Ia juga mengingatkan agar pendaki tidak lantas menuding semua peserta *open trip* sebagai pihak yang bersalah. Fiersa mengingatkan bahwa kemampuan fisik setiap pendaki berbeda, sehingga penting untuk saling menghargai dan berbagi ruang. Sampai saat ini, Liputan6.com masih berupaya menghubungi pihak *tour operator* untuk memperoleh klarifikasi, tetapi belum mendapatkan tanggapan.
Kasus serupa juga terjadi di Gunung Merbabu. Sebuah video yang diunggah oleh akun Instagram @friendsadventure17 pada 1 Juni 2025, menggambarkan seorang pendaki diusir oleh pendaki lain dari *open trip* karena lahan kemping telah di-*booking*.
Pihak Taman Nasional Tekankan Tidak Ada *Booking* Lahan
Menanggapi viralnya video-video tersebut, Balai Taman Nasional Gunung Merbabu menegaskan bahwa setiap pendaki memiliki hak yang sama di area pendakian. Hal ini juga disampaikan kembali oleh akun Instagram @btb_gn_merbabu, yang diunggah ulang oleh akun @harleysastha, @btn_gn_rinjani dan @mountaineeringfeed.indonesia pada 2 Juni 2025.
Unggahan tersebut menekankan bahwa praktik *booking* lahan kemping oleh *open trip* seringkali menyebabkan pendaki mandiri terusir. Mereka menekankan pentingnya etika, keadilan akses, dan tanggung jawab bersama dalam berbagi ruang di gunung.
Pihak pengelola taman nasional juga mengingatkan bahwa gunung bukan tempat bebas seenaknya. Meskipun terbuka untuk umum, tetap ada aturan dan batasan yang harus dipatuhi, mengingat sebagian besar jalur pendakian berada di kawasan konservasi dan hutan lindung.
Kesimpulannya, isu *booking* lahan kemping di gunung menyoroti pentingnya kesadaran akan etika dan tanggung jawab bersama di alam. Baik *tour operator* maupun pendaki mandiri perlu menyadari pentingnya berbagi ruang dan menghormati hak orang lain agar kegiatan pendakian tetap lestari dan menyenangkan bagi semua pihak. Perlu adanya regulasi yang lebih jelas dan tegas terkait hal ini untuk mencegah konflik dan memastikan kenyamanan bagi seluruh pendaki.