Di tengah hingar bingar bursa transfer Liga 1, Evan Dimas memilih jalan berbeda. Ia meninggalkan sorotan lampu stadion dan gemuruh suporter, bukan karena cedera atau usia. Keputusan ini merupakan pilihan sadar untuk kembali ke akar, mencari makna sepak bola yang lebih mendalam.
Bukan sekadar kemenangan atau raihan poin, melainkan berbagi ilmu dan membina talenta muda. Ia memilih jalur yang lebih sunyi, lebih bermakna.
Membangun Mimpi di Tulungagung
Mantan pemain Persija Jakarta ini kini bertugas sebagai pelatih muda di SSB Sanggar Saraswati Nuswantara, sebuah SSB di Desa Mojoarum, Tulungagung, Jawa Timur.
Bukan SSB besar atau klub elit, melainkan tempat belajar yang mengedepankan seni, nilai, dan etika dalam sepak bola.
Evan Dimas membina sekitar 20 anak muda di SSB tersebut. Ia hadir tiga kali seminggu, bukan sebagai mantan bintang Timnas Indonesia, melainkan sebagai mentor dan sahabat.
Ia datang membawa perlengkapan latihan dan buku catatan, disambut senyum anak-anak, bukan tekanan. Ia ingin membangun fondasi kuat bagi SSB Saraswati, dengan struktur, metode, dan filosofi yang jelas.
Rumah Baru dan Cita-Cita Besar
Tulungagung, meski bukan tempat kelahirannya, telah menjadi rumah bagi Evan Dimas. Ia berencana menetap di sana.
Wilayah ini menyimpan jejak pesepakbola ternama, seperti Yongki Ariwibowo, Singgih Pitono, hingga Sofie Imam Faizal. Ia ingin membangkitkan semangat sepak bola Tulungagung.
Usia 30 tahun bukan halangan baginya. Ia menolak beberapa tawaran bermain dari klub Liga 1, memilih fokus melatih dan membangun SSB Saraswati.
Ia ingin membangun lebih dari sekadar klub sepak bola; ia ingin membangun karakter anak-anak didiknya.
Menanamkan Semangat Sportivitas dan Persaudaraan
Bagi Evan Dimas, tanggung jawabnya melampaui teknik dan strategi. Ia ingin anak didiknya tumbuh sebagai pribadi yang utuh.
Ia menekankan pentingnya sportivitas dan kekompakan. Ia ingin mereka memahami sepak bola bukan sebagai persaingan, melainkan persaudaraan.
Sepak bola menjadi media pendidikan karakter. Ia percaya, pendidikan sejak dini akan membentuk masa depan mereka. Ia ingin menanamkan nilai-nilai yang benar.
Setelah enam hingga tujuh bulan menjadi pelatih, ia merasa bahagia dan menikmati perannya. Perubahan dari pemain menjadi pelatih memberikan pengalaman berharga.
Ia terus belajar, telah memiliki lisensi kepelatihan C dan akan melanjutkan ke jenjang B. Ia banyak berdiskusi dengan Indra Sjafri, mentornya di Timnas U19.
Indra Sjafri baginya bukan hanya pelatih, tetapi juga seperti ayah dan mentor. Ia belajar banyak dari Indra Sjafri tentang pembentukan karakter, tidak hanya teknik.
Evan Dimas kini fokus membangun mimpi kolektif dari akar rumput, bukan lagi mengejar gelar pribadi. Ia menemukan kepuasan dan makna yang lebih dalam di SSB Saraswati Nuswantara.
Prioritasnya bukan materi, melainkan ilmu dan pengalaman berharga yang ia peroleh. Ia menemukan hal luar biasa dalam membina anak-anak muda di SSB tersebut.