Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini menerbitkan Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Salah satu poin penting dalam surat edaran tersebut adalah kewajiban penerapan skema co-payment, yaitu pembagian risiko antara perusahaan asuransi dan nasabah. Kebijakan ini menuai beragam reaksi, terutama terkait dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan keberlanjutan industri asuransi itu sendiri.
Profesor Telisa Aulia Falianty, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), memberikan pandangannya mengenai kebijakan ini. Ia menjelaskan bahwa co-payment dirancang untuk mengatasi risiko moral (moral hazard) dalam industri asuransi.
Mekanisme Co-Payment dan Tujuannya
Skema co-payment mewajibkan pemegang polis menanggung sebagian biaya perawatan kesehatan. Besarannya minimal 10 persen dari total klaim, baik rawat jalan maupun rawat inap.
OJK menetapkan batasan maksimum co-payment sebesar Rp300 ribu untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap. Tujuannya, menurut Prof. Telisa, adalah untuk menjaga keberlanjutan industri asuransi.
Dengan adanya pembagian risiko ini, diharapkan peserta asuransi lebih bertanggung jawab dan tidak sembarangan mengklaim biaya perawatan. Hal ini akan mencegah beban berlebih pada industri asuransi.
Dampak Co-Payment terhadap Industri Asuransi dan Masyarakat
Di satu sisi, kebijakan ini diharapkan dapat menekan risiko moral (moral hazard) yang selama ini menjadi tantangan bagi industri asuransi. Risiko moral terjadi ketika peserta asuransi berperilaku kurang hati-hati karena merasa terlindungi oleh asuransi.
Namun, di sisi lain, Prof. Telisa mengakui bahwa penerapan co-payment berpotensi mengurangi minat masyarakat untuk berasuransi, setidaknya dalam jangka pendek. Hal ini terutama disebabkan oleh tambahan biaya yang harus ditanggung oleh nasabah.
Oleh karena itu, sosialisasi yang masif sangat diperlukan. Masyarakat perlu memahami manfaat jangka panjang dari skema ini, yaitu keberlanjutan industri asuransi yang pada akhirnya akan menjamin akses kesehatan yang lebih baik dan stabil di masa mendatang.
Sosialisasi dan Edukasi Publik sebagai Kunci Keberhasilan
Prof. Telisa menekankan pentingnya peran pemerintah, pelaku industri asuransi, dan pihak terkait lainnya dalam mensosialisasikan kebijakan co-payment. Sosialisasi yang efektif akan membantu masyarakat memahami mekanisme dan manfaat co-payment.
Penjelasan yang jelas mengenai batasan maksimum biaya yang harus ditanggung nasabah juga krusial. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak merasa terbebani dan dapat menerima kebijakan tersebut.
Dengan edukasi yang tepat, diharapkan masyarakat dapat memahami pentingnya sustainability industri asuransi dan menerima skema co-payment sebagai bagian dari solusi untuk menjaga keberlangsungannya.
Pemahaman yang baik akan menciptakan keseimbangan antara tanggung jawab individu dan peran perusahaan asuransi dalam sistem perawatan kesehatan. Hal ini penting untuk memastikan akses kesehatan yang berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Kesimpulannya, penerapan skema co-payment merupakan langkah strategis untuk mengatasi risiko moral dan menjaga keberlanjutan industri asuransi. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada efektivitas sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Transparansi dan komunikasi yang baik antara OJK, perusahaan asuransi, dan masyarakat sangat penting untuk mendapatkan penerimaan dan pemahaman yang luas.