Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli memberikan penjelasan terkait kendala pencairan Bantuan Subsidi Upah (BSU) Rp600 ribu kepada 17 juta pekerja bergaji maksimal Rp3,5 juta. Proses pencairan yang belum sepenuhnya rampung ini disebabkan oleh dua faktor utama.
Pertama, pemerintah memprioritaskan kehati-hatian dalam memastikan data dari BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini bertujuan agar penyaluran BSU tepat sasaran dan menghindari penyalahgunaan dana. Pemerintah ingin memastikan bantuan ini benar-benar sampai ke tangan pekerja yang berhak menerimanya.
Kedua, terdapat kendala dalam administrasi keuangan. Anggaran BSU bukanlah alokasi yang telah direncanakan sejak awal tahun, sehingga membutuhkan proses administrasi yang lebih teliti dan kompleks. Proses ini memerlukan pengurusan administrasi yang cermat agar terjamin transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana.
“Ada dua isu sebenarnya. Yang pertama itu adalah isu kita ingin sangat hati-hati dalam memastikan data dari BPJS Ketanagakerjaan itu sesuai dengan kriteria yang memang sudah ditetapkan, dan yang kedua tentu administrasi keuangan. Karena anggarannya itu adalah sesuatu yang belum kita rencanakan dari awal tahun,” jelas Menaker Yassierli pada Selasa (24/6).
Menaker menekankan pentingnya kelengkapan administrasi untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas. “Administrasi itu harus lengkap karena kita ingin semua proses ini transparan dan akuntabel. Jadi tidak ada potongan,” tegasnya.
Penyaluran BSU Secara Bertahap
Meskipun menghadapi tantangan, penyaluran BSU dilakukan secara bertahap. Tahap pertama menargetkan 3,69 juta pekerja, dengan realisasi penyaluran kepada 2.450.068 pekerja hingga Selasa (24/6). Sisanya, sebanyak 1.247.768 pekerja, masih dalam proses penyaluran.
Untuk tahap kedua, BPJS Ketenagakerjaan telah mengirimkan data sekitar 4,5 juta calon penerima. Data tersebut saat ini sedang dalam tahap verifikasi dan validasi untuk memastikan keakuratan dan kelengkapan data penerima.
Tujuan dan Manfaat BSU
BSU bertujuan untuk membantu daya beli pekerja bergaji rendah, yang secara tidak langsung dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Bantuan ini sangat berarti bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta atau UMP (Upah Minimum Provinsi).
Menurut Menaker Yassierli, dalam diskusi di Kemenko Perekonomian, BSU dinilai sangat membantu meningkatkan daya beli buruh dan pekerja. Hal ini diharapkan dapat mendorong aktivitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Menaker memastikan tidak ada pemotongan dalam penyaluran BSU. “Sesuai dengan anggaran yang kami minta kepada Kementerian Keuangan, sebesar itulah yang kemudian diterima oleh para penerima upah,” jelas Menaker Yassierli.
Seluruh proses penyaluran dilakukan dengan hati-hati dan sesuai prosedur administratif untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan dan transparansi. BSU tahun ini merupakan bagian dari kebijakan stimulus ekonomi kuartal II yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto.
Syarat Penerima BSU dan Mekanisme Penyaluran
Penerima BSU harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan hingga April 2025, berpenghasilan maksimal Rp3,5 juta atau setara Upah Minimum Daerah (UMD), bukan ASN, TNI, atau Polri, dan tidak menerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun anggaran berjalan.
Penyaluran BSU dilakukan melalui bank Himbara (BNI, BRI, BTN, Mandiri), dan Bank Syariah Indonesia (khusus Aceh). Bagi pekerja yang tidak memiliki rekening Himbara, bantuan akan disalurkan melalui PT Pos Indonesia. Dasar hukum program ini diatur dalam Permenaker Nomor 5 Tahun 2025, dan Keputusan Dirjen PHI dan Jamsos Nomor 4/737/HK.06/VI/2025.
DIPA Ditjen PHI dan Jamsos telah diterbitkan pada 18 Juni 2025 untuk mendukung realisasi anggaran BSU. Program ini menargetkan 17 juta pekerja dengan besaran bantuan Rp300 ribu per bulan selama dua bulan, dibayarkan sekaligus, sehingga totalnya Rp600 ribu per orang.
Proses pencairan BSU yang membutuhkan kehati-hatian dan kelengkapan administrasi ini diharapkan dapat segera diselesaikan sehingga bantuan tersebut dapat segera dinikmati oleh para pekerja yang berhak menerimanya. Transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran bantuan ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik.