Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Lucky Permana, mantan PNS BPS, yang meminta agar ASN tidak diberhentikan hanya karena telah menjalani masa pidana. MK berpendapat pemberhentian tersebut bukan merupakan sanksi ganda.
Dalam sidang putusan Kamis (5/6/2025), Ketua MK Suhartoyo menyatakan penolakan permohonan tersebut. MK menilai pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bagi ASN yang terbukti melakukan pelanggaran hukum adalah hal yang wajar.
Putusan MK: PTDH Bukan Sanksi Ganda
MK berpendapat bahwa pemberhentian seorang PNS karena melakukan tindak pidana, terutama yang berkaitan dengan jabatannya, adalah hal yang masuk akal.
Hal ini dikarenakan ASN yang melakukan tindak pidana telah mengkhianati kepercayaan dan jabatan yang diembannya.
Hakim MK menambahkan bahwa ASN yang melakukan kesalahan telah mengkhianati masyarakat, karena jabatannya semestinya digunakan untuk pembangunan bangsa dan negara.
Dengan demikian, MK menyatakan bahwa pasal yang mengatur pemberhentian ASN yang telah dipidana tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini karena pasal tersebut sejalan dengan tujuan mencegah penyalahgunaan jabatan.
PTDH terhadap ASN yang telah dipidana bukanlah sanksi ganda, melainkan konsekuensi hukum setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Alasan Penolakan Permohonan Lucky Permana
Lucky Permana, pemohon dalam kasus ini, dihukum penjara 2,5 tahun dan denda Rp 250 juta karena kealpaan dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Ia kemudian diberhentikan tidak dengan hormat oleh Kepala BPS pada 29 April 2019.
Lucky berpendapat bahwa keputusan PTDH tersebut tidak mempertimbangkan aspek individual seperti rekam jejak kinerja dan potensi rehabilitasi.
Ia menilai Pasal 52 ayat (3) huruf i UU ASN tidak memberikan ruang untuk penilaian individual dan rehabilitasi administratif bagi ASN yang telah menjalani hukuman pidana.
Oleh karena itu, Lucky meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Penjelasan Lengkap Putusan Mahkamah Konstitusi
MK menolak argumen Lucky Permana. MK menegaskan bahwa PTDH bukanlah sanksi ganda atas kesalahan yang sama.
Pemberhentian sebagai ASN merupakan konsekuensi hukum lanjutan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
MK menekankan bahwa tindakan ASN yang melakukan kejahatan telah menghambat cita-cita dan tujuan bernegara.
Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa peraturan yang memungkinkan PTDH bagi ASN yang melakukan tindak pidana tetap berlaku dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Putusan MK ini memberikan kejelasan hukum terkait sanksi bagi ASN yang melakukan tindak pidana dan menegaskan pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Dengan demikian, putusan MK ini memberikan kepastian hukum terkait sanksi bagi ASN yang melakukan pelanggaran hukum, sekaligus menguatkan prinsip akuntabilitas dan integritas dalam penyelenggaraan negara. Putusan ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi seluruh ASN dalam menjalankan tugas dan fungsinya.