Janji Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja, disampaikan dalam Debat Pilpres keempat pada Januari 2024 lalu, menjadi sorotan. Realitas perekonomian Indonesia saat ini memunculkan pertanyaan besar: mampukah janji tersebut terwujud?
Para ahli ekonomi memberikan pandangan yang beragam terkait realisme janji tersebut. Beberapa faktor kunci dibahas untuk menilai potensi keberhasilan program penciptaan lapangan kerja berskala besar ini.
Tantangan Utama: Kualitas Pendidikan dan Alokasi Anggaran
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, melihat potensi terwujudnya janji tersebut. Namun, ia menekankan pentingnya kebijakan pemerintah yang mendukung.
Salah satu kunci utama adalah peningkatan kualitas pendidikan. Investasi besar dalam pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Peningkatan kualitas SDM sangat penting agar tenaga kerja Indonesia mampu memenuhi kebutuhan pasar kerja yang dinamis.
Sayangnya, Esther menyoroti alokasi anggaran pendidikan yang justru berkurang. Anggaran malah dialihkan ke program lain seperti MBG dan Koperasi Merah Putih, tanpa peningkatan skill yang signifikan.
Menurutnya, perlu perluasan akses pendidikan dan peningkatan kualitasnya secara berkelanjutan.
Insentif Investasi: Prioritaskan Pembangunan Ekonomi, Bukan Konsumsi
Esther juga menyoroti pentingnya insentif investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Pemerintah saat ini, menurutnya, lebih fokus pada insentif konsumsi daripada investasi.
Program seperti bansos, subsidi listrik, dan subsidi gaji, menurut Esther, tidak berdampak besar pada penciptaan lapangan kerja.
Insentif yang berorientasi pada investasi, akan lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Dengan demikian, investasi akan lebih berdampak pada peningkatan lapangan kerja.
Realitas Ekonomi dan Program Pemerintah yang Dipertanyakan
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, lebih pesimis. Ia menilai janji 19 juta lapangan kerja sulit dicapai.
Kondisi ekonomi saat ini tengah tertekan, dengan prediksi PHK mencapai 280 ribu orang di tahun ini.
Rasio investasi dan lapangan kerja juga makin tidak berbanding lurus. Investasi cenderung masuk ke sektor padat modal.
Akibatnya, setiap Rp 1 triliun investasi asing hanya menyerap sekitar 1.000 tenaga kerja, jauh lebih rendah dibandingkan masa sebelum pandemi.
Bhima juga mengkritik beberapa program pemerintah, seperti Koperasi Desa Merah Putih.
Program ini dinilai malah mengancam UMKM dan BUMDes yang sudah ada, sehingga justru mengurangi lapangan kerja.
Program hilirisasi juga dinilai kurang efektif dalam menyerap tenaga kerja, bahkan merugikan petani dan nelayan karena kurangnya tata kelola yang baik.
Kesimpulannya, mewujudkan janji 19 juta lapangan kerja menghadapi tantangan besar. Perlu perubahan signifikan dalam kebijakan pemerintah, terutama terkait alokasi anggaran pendidikan, insentif investasi, dan evaluasi program-program yang sudah berjalan. Tanpa perbaikan tersebut, janji tersebut akan sulit direalisasikan.